Minggu, 04 Oktober 2015

SELAMAT DATANG DI WEB KAMI SPPR GKE MANGKUPUM



Pemuda GKE Mangkupum


       

        GKE PROTESTAN,GKE merupakan sigkatan dari (GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS),
dan PROTESTAN adalah arti dari PROTES terhadap Agama Katolik
yang tidak sesuai dengan ajaran isi dari Alkitab atau ajaran TUHAN ALLAH.
Salahsatunya di Desa Mangkupum Kecamatan Muara Uya Kab.Tabalong merupakan salahsatu Gereja GKE,
tempa beribadah bagi umat Keristen,desa mangkupum hampir 95% yang beragama Kristen adalah suku Dayak DEAH,
dan sisanya adalah suku pendatang atau campuran dari berbagai daerah.
Gereja GKE Mangkupum sekarang ini di pimpin oleh Ibu Pendeta Maria,hampir 5 tahun lebih beliau berada di desa tersebut.


++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

SEJARAH GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS ( GKE )



         Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis ( GKE ) dengan sendirinya merupakan bagian dari sejarah Gereja di Barat, terutama di Jerman, Swiss dan Belanda, dengan bekerjanya Lembaga-lembaga misionaris seperti Zending Barmen, Zending Basel dan Klasis Amsterdam di wilayah Kalimantan ini.
Hanya dengan pengertian inilah kita dapat berkata-kata tentang Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis ( GKE ). Karena adanya pengertian batas waktu dalam sejarah, dapat pulalah kita berbicara tentang GKE dalam “ukuran usia”. Lahirnya Gereja Kalimantan Evangelis ( GKE ) adalah hasil dari abad ke-19, yang disebut sebagai abad Pekabaran Injil. Hal ini terjadi disebabkan ketika pada abad itu bersamaan dengan kemajuan-kemajuan teknologi dan meluasnya hubungan lalu lintas dunia, maka pekabaran injil pun berjalan ke seluruh permukaan bumi dan ke segala pelosok dunia. Pada abad inilah kesadaran pekabaran injil dibangun dalam gereja-gereja Protestan di Benua Barat, yang mengakibatkan timbulnya lembaga-lembaga pekabaran injil serta mengutus pekabar-pekabar injilnya masing-masing ke segala bagian dunia ini. Para Misionaris ini pergi dan diutus tanpa pertolongan atau permintaan pemerintah, tetapi atas usaha dan kemauan sendiri yang dibakar oleh kerinduan untuk memenuhi panggilannya.
Pekabaran Injil di tanah Kalimantan telah dilakukan sekitar tahun 1835 oleh seorang Penginjil bernama Johann Heinrich Barnstein sampai dengan tahun 1863, kemudian dilanjutkan oleh para Penginjil lain dari Jerman di bawah naungan lembaga Misionarisnya yaitu Zending Barmen.
Pada tahun-tahun pertama penginjilan yang dilakukan oleh para missionaris ini banyak sekali kendala dan halangan, hal ini disebabkan oleh : pertama sikap kecurigaan dari masyarakat lokal ( Suku Dayak ) terhadap pendatang, terlebih pendatang tersebut mempunyai ciri-ciri fisik yang sangat berbeda dengan mereka, kedua diakibatkan pada saat itu adalah masa revolusi oleh Penjajah Belanda dan Jepang maupun akibat efek dari revolusi di luar negeri yaitu Perang Dunia Pertama ( Tahun 1914 – 1918 ). Sehingga tidak sedikit para missionaris ini mati syahid menjadi martir karena banyak di bunuh oleh orang Dayak. Akan tetapi hal-hal seperti ini tidak membuat para misionaris menarik mundur langkah mereka, sehingga dilakukanlah pendekatan kultural. Pendekatan kultural tersebut antara lain mengadakan penginjilan dengan menggunakan bahasa setempat ( Bahasa Dayak Ngaju dan Maanyan ), merekrut tokoh-tokoh Dayak seperti Demang, Temanggung, dan tokoh adat lainnya untuk membantu mereka melakukan pendekatan ini. Dan ternyata pendekatan kultural ini sangat berhasil akan tetapi pendekatan ini tidak termasuk dalam melakukan ritual ibadah, jadi ritual tetap menggunakan metode liturgi yang baku dan ada penekanan kepada para murid-murid didik dari Zending Basel ini untuk memperingatkan kepada warga Dayak yang telah dibaptis menjadi Kristen untuk tidak lagi melakukan ritual-ritual adat seperti melakukan upacara pemanggilan roh-roh nenek moyang. Karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran Kristus dalam Alkitab. Pendekatan Kultural melalui bahasa, mengikuti pola hidup masyarakat Dayak dan bergaul dengan penuh kasih adalah metode yang sangat efektif sehingga masyarakat Dayak sangat bisa menerima kedatangan para missionaris ini dilingkungan mereka bahkan para tokoh adat ini pula yang melakukan pengawalan dan perlindungan untuk menjaga keselamatan para missionaris.
Pekabaran Injil di tanah Kalimantan terus dilanjutkan hingga pada tahun 1920 ketika penginjilan diserahkan kepada Zending Basel, Swiss akibat gejolak Revolusi Dunia pada masa Perang Dunia Pertama yang melibatkan Bangsa Jerman tahun 1914 sampai dengan 1918 yang begitu berpengaruh pada proses Penginjilan di Kalimantan, peralihan tersebut berlangsung selama ± 5 tahun hingga pada tahun 1925.
Dengan adanya keputusan 1920 itu, maka langkah-langkah pertama yang diambil oleh para penginjil-penginjil dari Zending Basel adalah mempersiapkan proses pengambil alihan pelayanan sepenuhnya nanti. Pengiriman pertama ini terdiri dari 4 orang Penginjil, masing-masing akan ditempatkan di jemaat-jemaat Pusat yang strategis mereka ini ialah :
1. Pengjinjil Henking berkedudukan di Banjarmasin.
2. Penginjil Weiler berkedudukan di Tamiang Layang.
3. Penginjil Kühnle berkedudukan di Mengkatip.
4. Penginjil Huber berkedudukann di Puruk Cahu.
Usaha utama diintensifkan di bidang pelayanan kesehatan. Tahun 1931 telah berhasil didirikan sebuah rumah sakit di Kuala Kapuas dan dari sini dijalankan operasi kesehatan dengan mendirikan poliklinik-poliklinik di jemaat-jemaat induk. Demikian pula di lapangan pendidikan dipergiat untuk melanjutkan usaha-usaha Zending Barmen, disamping meneruskan seminari yang diusahakan oleh Zending Barmen dahulu.
Bersamaan dengan ini, pada tahun 1932 dimulailah pendidikan Sekolah Theologia di Banjarmasin. Di lapangan pelayanan di antara kaum wanita semakin diutamakan, dengan mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga di Mandomai dan Kuala Kapuas. Yang dirasakan amat penting selama pekerjaan 10 tahun dari Zending Basel ini ialah usaha dan perhatian yang semakin dipusatkan pada jemaat-jemaat dan dorongan-dorongan serta kemungkinan yang diberikan untuk dapat mengatur diri sendiri dan membawa semua jemaat di Pulau Kalimantan ini dalah pertemuan atau Konferensi.
Pada tanggal 3 – 4 Maret 1925 diadakan sebuah pertemuan besar di Banjarmasin. Pertemuan ini disebut sebagai Sinode Pertama dari seluruh Jemaat di Kalimantan, dalam rapat inilah tercetus keinginan untuk menemukan jemaat yang tersebar di seluruh Tanah Dayak, terpencar di antara segala macam suku atau clan yang berbeda-beda. Dan sangat penting bahwa di saat inilah digumuli peninjauan kembali, penambahan dan perubahan dari Peraturan Sidang Jemaat Kristen yang telah disahkan pada tahun 1912 oleh Zending Barmen dahulu.
Konferensi kembali diadakan pada tahun 1926 di Banjarmasin ketika para pekerja Zending Basel berkumpul untuk memperoleh pimpinan yang teratur dalam penyusunan rencana dalam bentuk pelayanan yang intensif di daerah-daerah pedalaman yang luas di Kalimantan. Dalam konferensi itu telah dibicarakan soal-soal keuangan, sekitar keinginan jemaat untuk berdiri sendiri dalam ikatan satu gereja. Justru disinilah dirasakan benar oleh pihak Zending bahwa kebutuhan penyebaran Injil secara meluas di daerah ini harus dilaksanakan oleh tenaga-tenaga Penginjil Dayak sendiri, yang dapat merupakan pasukan mobile dengan kegiatan kesaksian yang spontan dan perlunya pembangunan jemaat yang terencana ( planmatig ) membutuhkan pula pelayan-pelayan nasional yang terdidik.
Atas dasar tersebut, maka dalam Konferensi para pekerja Zending pada tahun 1935 di Banjarmasin yang dihadiri oleh Sir H. Witschi (Inspektur Zending Basel untuk Kalimantan), Dr. H. Kraemer dan Mr. S.C Graff van Randwijk (Konsul Zending di Jakarta), telah dibahas kemungkinan-kemungkinan berdirinya Gereja Dayak, Konferensi ini menghasilkan suatu rencana “Peraturan Gereja Dayak Evangelis”.
Segera sesudah konferensi para pekerja Zending tersebut, diadakanlah Sinode Umum yang kedua dari seluruh jemaat di Kalimantan pada tanggal 2 – 6 April 1935 di Kuala Kapuas, dengan mengambil tempat di Gedung Gereja Barimba. Sinode ini dihadiri oleh Inspektur H. Witschi dan Mr. S.C. Graaf van Randwijk. Dalam Sinode inilah, dengan penuh percaya dan pengharapan, diambil keputusan untuk membulatkan diri dalam satu ikatan Gereja. Sinode yang dihadiri oleh 30 orang dari Suku bangsa DAYAK dan 8 Penginjil Zending Basel pada tanggal 4 April 1935 pukul 12 siang, telah menerima Peraturan Gereja yang direncanakan itu, dengan satu demi satu telah menjawab dan berkata “ya aku mengaku” dan kemudian sambil berdiri semua Anggota Sinode mengikrarkan Kalimat berikut : “Guru kami hanya satu saja, yaitu Kristus Yesus dan kita sekalian semuanya bersaudara”.
Dengan peristiwa yang penuh kehikmatan dan iman ini, berdirilah secara resmi Gereja Dayak Evangelis ( GDE ) yang kemudian pada tanggal 24 April 1935 diakui sebagai Badan Hukum menurut Keputusan No.33, Stbl. No. 217 dan berkedudukan di Banjarmasin. Sejak itu Sinode di Kuala Kapuas ini dianggap sebagai SINODE UMUM yang PERTAMA Gereja Dayak Evangelis ( GDE ).
Kemudian pada tanggal 5 April 1935, bersamaan dengan perayaan genap 100 tahun ( SEABAD ) pekabaran Injil di Kalimantan, maka kelima pemuda lulusan Sekolah Theologia Banjarmasin yang dianggap memiliki potensi besar telah ditahbiskan di gedung Gereja Hampatung ( Kuala Kapuas ), sebagai Pendeta-pendeta pertama dari Gereja Dayak Evangelis ( GDE ). Pengutusan, Berkat dan Pentahbisan Suci 5 ( lima ) “Pendeta Dayak” pertama yang dilakukan Zending Basel oleh Inspektur Sir H. Witschi. Pada tanggal 5 April 1935, sebagai berikut :
1. Pdt. RUDOLF KITING, ditempatkan di Rungan dengan kedudukan di Tumbang Bunut.
2. Pdt. EDUARD DOHONG, ditempatkan di Miri dengan kedudukan di Tumbang Sian.
3. Pdt. GERSON AKAR, ditempatkan di Hulu Kapuas dengan kedudukan di Sungai Hanyu.
4. Pdt. HERNALD DINGANG PATIANOM, ditempatkan di Sungai Tiwei dengan kedudukan di Benangin.
5. Pdt. MARDONIUS BLANTAN, ditempatkan di Dusun Timur dengan kedudukan di Tewah Puluh.
Daerah-daerah tempat ke – 5 pendeta pertama itu ditempatkan adalah merupakan daerah-daerah front pekabaran injil. Dari sini sudah tampak karakter Gereja Dayak dengan segala pekerjaannya, selaku gereja yang mengabarkan Injil sesuai dengan nama Gereja tersebut yaitu “Evangelis”.
Patut pula dicatat dalam sejarah gereja ini, bahwa kelima Pendeta pertama ini adalah tokoh-tokoh Pionir dan pesuruh-pesuruh Injil yang penuh daya gerak diantara orang sebangsanya dan mereka inilah yang merupakan orang-orang pertama PEKERJA NASIONAL GEREJA dan bukan pekerja suatu lembaga atau badan Zending dari luar negeri.
Sebagai generasi penerus, kita harus bangga akan “Hamba-hamba” Tuhan di Tanah Dayak ini, bermula dari Pendeta Johann Heinrich Barnstein dan para misionaris lainnya yang berjuang tanpa memikirkan keselamatan diri tapi menyerahkan semuanya kepada TUHAN, dan juga 5 Pendeta Dayak yang pergi melayani tanpa pamrih untuk memberitakan keselamatan dan menjadikan kita suku Dayak menjadi Bangsa yang beradab, memiliki pengetahuan dan memiliki kasih dan yang terlebuh utama memiliki TUHAN YESUS sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Seiring dengan perjalanan waktu, dalam keadaan dan suasana kancah pergumulan bangsa inilah, Gereja Dayak Evangelis ( GDE ) melihat ulang perwujudannya serta menelaah kembali posisi dan panggilannya selaku milik Yesus Kristus yang telah terlebih dahulu memerdekakan suku bangsa Dayak, gereja tak dapat berdiam diri dalam menghadapi pelbagai peristiwa revolusioner negeri ini yang bergerak begitu cepat, sehingga bergoncangnya kesadaran dan bangkitnya semangat Nasionalisme serta timbulnya keinsyafan Nasional dari suku bangsa Dayak sebagai suatu bagian dari keseluruhan Bangsa Indonesia, telah merombak seluruh konsepsi lama. Sebagai reaksi terhadap pengisolasian yang beradab-abad lamanya oleh Pemerintah Kolonial terhadap suku bangsa Dayak, maka perasaan baru yang telah muncul itu menemukan jalan-jalannya sendiri untuk menampakkan keadaan diri dan nilai suku dalam rentetan suku-suku lain demi kepentingan pembangunan suatu bangsa.
Di bidang kegerejaan dalam Sinode Umum yang ke-4 di Banjarmasin tanggal 17 – 23 Februari 1946, hal tersebut di atas muncul dalam suatu perdebatan dan pembahasan mengenai Pasal 1 dari Peraturan GDE, terutama nama Gereja. Nama “Gereja Dayak Evangelis” seolah-olah hanya mengutamakan dan teruntuk bagi orang-orang Dayak sehingga dalam keputusan Sinode tersebut diambilah sikap untuk merubah nama Gereja Dayak Evangelis ( GDE ) menjadi Gereja Kalimantan Evangelis ( GKE ) yang kemudian terwujud dan ditetapkan pada Persidangan Sinode Umum – V tanggal 5 – 9 Nopember 1950 di Banjarmasin.
Di bidang Oikumenis, GKE memiliki keeratan hubungan dengan Gereja-gereja lain di Indonesia serta tetap menjalin kelanjutan hubungannya dengan Gereja di Barat, maka GKE menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengirim delegasinya ke konferensi-konferensi oikumenis, baik yang bersifat nasional maupun dalam taraf internasional dan regional ;
2. Menerima dan mengundang pengunjung-pengunjung dari gereja lain di dalam dan di luar negeri ;
3. Memanggil serta menerima pekerja-pekerja utusan dari gereja di luar dan dalam negeri.
GKE dalam hubungan dan ikatan oikumenis ini benar-benar menyadari dan merasa bahwa dirinya sebagai bagian dari Gereja Kristus yang kudus dan am di seluruh dunia ( Catholica Ecclesia ). Kekurangan-kekurangan yang dirasakan untuk kepentingan GKE sendiri tidaklah dijadikan sebab atau alasan untuk tidak melihat kebutuhan yang lebih luas di keseluruhan bidang pekerjaan bersama dalam pencerahan oikumenis. Dalam kekurangan dan kelemahannya sendiri, GKE telah dapat memberi dan inilah kekayaan yang besar dan kemudian juga menunjukkan berkat yang melimpah bagi kepujian dan kemuliaan Nama YESUS KRISTUS Tuhan!.



 




Karya : Jodi Efillus K.S.KOM